Calon PM Jepang Kampanye ‘Kerja Gila-Gilaan’: Mimpi Buruk Work-Life Balance?

Posted by : jalfad 12/10/2025

Tokyo, Indonesiaterang.net – Ambisi Sanae Takaichi, calon Perdana Menteri Jepang, memicu badai kritik setelah menyerukan budaya kerja “gila-gilaan” tanpa work-life balance. Pernyataan ini menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk kelompok pengacara yang menangani kasus kematian akibat kerja berlebihan (karoshi). Apakah ini pertanda buruk bagi kesejahteraan pekerja Jepang?

Sanae Takaichi, anggota parlemen konservatif yang gigih dan calon kuat PM Jepang, membuat pernyataan kontroversial dalam pidatonya setelah memenangkan pemilihan ketua LDP (Partai Demokrat Liberal). Ia menyerukan kepada anggota partainya untuk “bekerja seperti kuda pekerja” dan mengisyaratkan akan meninggalkan gagasan work-life balance.

“Saya sendiri akan meninggalkan gagasan keseimbangan kehidupan dan pekerjaan. Saya akan bekerja, bekerja, bekerja, bekerja, dan bekerja!” tegas Takaichi.

Pernyataan Takaichi ini langsung menuai kecaman keras. Dewan Pembela Nasional untuk Korban Karoshi, sebuah kelompok pengacara yang menangani kasus karoshi, mengecam pernyataan tersebut. Mereka berpendapat bahwa sikap Takaichi “dapat memaksa pekerja untuk bekerja berlebihan” dan “membangkitkan mentalitas ketinggalan zaman”.

Namun, ada pula pembelaan terbatas terhadap Takaichi. Menteri Kebijakan Terkait Anak-anak Jepang, Junko Mihara, mencoba meredakan kontroversi dengan menyatakan bahwa ucapan Takaichi hanyalah bentuk tekadnya sebagai pemimpin partai.

Selain kontroversi yang dipicu pernyataannya, Takaichi juga menghadapi tantangan politik yang signifikan. Mitra koalisi LDP, Partai Komeito, telah menarik dukungan mereka, yang semakin mengurangi peluang Takaichi untuk menjadi PM wanita pertama Jepang.

Pemimpin Komeito, Tetsuo Saito, mengumumkan bahwa kemitraan kedua partai yang telah terjalin selama 26 tahun telah retak. Ia menuding LDP gagal menanggapi skandal pendanaan politik yang telah menghantui partai penguasa tersebut.

Dengan mundurnya Komeito, Takaichi diperkirakan akan berusaha menjalin aliansi dengan partai lain, seperti Partai Inovasi yang berhaluan kanan-tengah. Sementara itu, partai oposisi utama, Partai Demokrat Konstitusional, mengisyaratkan bahwa mereka mungkin akan mendukung pemimpin dari partai oposisi lain, Yuichiro Tamaki, sebagai kandidat penantang.

Ketidakpastian politik ini juga berdampak pada pasar keuangan. Nilai tukar Yen menguat setelah berita pecahnya koalisi Takaichi, mencerminkan kekhawatiran investor terhadap rencana belanja besar Takaichi yang dikhawatirkan dapat membebani ekonomi Jepang.

Pernyataan Takaichi memicu perdebatan nasional tentang budaya kerja di Jepang dan pentingnya work-life balance.

Peluang Takaichi untuk menjadi PM Jepang semakin menipis.

Ketidakpastian politik meningkat menjelang pertemuan diplomatik penting, termasuk KTT multilateral di Malaysia dan Korea Selatan, serta kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Jepang.

Apakah Jepang akan terus mempertahankan budaya kerja yang intensif, ataukah akan ada perubahan menuju keseimbangan yang lebih baik antara kehidupan kerja dan pribadi? Kita akan terus mengikuti perkembangan situasi ini.

Laporan: Joshua

RELATED POSTS
FOLLOW US